Beberapa hari ini saya mencoba baca buku baru setelah menamatkan How to Take Smart Notes : One Simple Technique to Boost Writing, Learning and Thinking – for Students, Academics and Nonfiction Book Writers (Sönke Ahrens, 2017) . Saya sudah coba membaca A Field Guide to Lies (Daniel Levitin, 2016). Bahasan statistik populer ini menarik, namun rasanya saya masih enggan untuk lanjut membaca buku non-fiksi lagi. Dari A Field Guide to Lies, saya pindah membaca sastra klasik Slaughterhouse Five (Kurt Vonnegut, 1969). Terasa ada angin segar ketika membaca buku fiksi lagi. Namun lagi-lagi saya masih enggan hanyut ke dalam buku yang baru saya baca itu.

Sebab nyatanya saya masih terjebak dalam How to Take Smart Notes. Ini kali pertama saya book hangover dalam buku non-fiksi dan kali ketiga saya book hangover setelah membaca Lelaki Harimau dan Sputnik Sweetheart.

sumber gambar: goodreads.com

Buku ini saya baca dalam tujuan yang masih sama, yaitu mengorek kesalahan yang saya lakukan selama belajar. Kali ini pertanyaan yang ingin saya jawab dari How to Take Smart Notes adalah, kenapa apa yang saya baca (dari buku non-fiksi) kerap menguap begitu saja seiring berjalannya waktu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas mari kita berkenalan dengan seorang sosiolog asal Jerman, Niklas Luhmann. Selama 30 tahun berkarir sebagai sosiolog, Luhmann telah menerbitkan 60 judul buku dan ratusan artikel. Jika dihitung rata-ratanya secara kasar, setiap tahun Luhmann merilis dua judul buku. 

Ternyata kunci dari produktivitas Luhmann adalah ia tidak pernah membaca buku dengan tangan kosong. Selama membaca buku, selalu ada pulpen dan kertas kecil dalam genggamannya untuk mencatat. Namun perlu digarisbawahi bahwa aktivitas mencatat di sini bukan menyalin teks satu halaman atau copy-paste penggalan kalimat. Ia hanya mencatat kutipan yang menjadi inspirasi untuk gagasan baru, dan kutipan tersebut ditulis dalam bentuk parafrasa. 

Selanjutnya, Luhmann menambahkan komentar dan pemikirannya terhadap kutipan yang diparafrasa pada bagian belakang kertas. Kumpulan kertas tersebut disimpan dalam kotak dan dikelompokkan berdasarkan kategori dan index yang bisa berkembang seiring bertambahnya informasi dari referensi lain. Sistem pencatatan seperti ini kemudian dikenal dengan sebutan Zettelkasten atau metode slip-box. Ada juga yang menyebut dengan metode kotak sepatu sebab bisa juga disimpan di kardus sepatu, tanpa perlu membuat laci fancy seperti ini.

image
sumber gambar: radiobielefeld.de

How to Take Smart Notes tidak hanya sekadar memberikan panduan membuat slip-box. Buku ini membedah bagaimana otak manusia bekerja. Secara alamiah otak manusia memang cenderung lembam dan enggan berpikir. Memori manusia juga bukan hard disk internal yang baik. Kondisi tersebut kemudian diperburuk dengan menjejalkan informasi (cramming) sebagai metode belajar favorit. Cramming ini memberikan rasa nyaman sebab otak kita (sebetulnya) tidak sedang berpikir. Dan pada saat bersamaan cramming membuat kita percaya bahwa kita sedang menyerap informasi. Faktanya, tidak semua informasi bisa terserap (bisa jadi cuma numpang lewat) dan tidak semua informasi itu penting. Terlebih esensi belajar yang paling utama adalah membangun logika berpikir, bukan mengingat. 

Zettelkasten menjadi salah satu solusi dari cara belajar yang selama ini banyak menyimpan bias. Pertama, Zettelkasten berperan sebagai hard disk eksternal. Terima saja kalau kita memang tidak bisa mengingat semua hal sehingga butuh alat bantu untuk mengakomodir ingatan. Kedua, kita baru sah memahami sebuah fakta ketika kita mampu menceritakan kembali fakta tersebut dengan bahasa sendiri. Itulah kenapa Zettelkasten menuntut kita untuk parafrasa kutipan dalam catatan: untuk menguji apakah kita betul-betul sudah paham atau belum. Ketiga, dengan Zettelkasten kita bisa fokus membangun koneksi antara gagasan baru dengan gagasan yang sudah ada sebelumnya dan merekamnya dengan runut.

Nah, proses menulis itu sendiri hanyalah tahap akhir setelah melewati proses berpikir yang terarsip dalam Zettelkasten. Dengan melakukan metode ini maka seharusnya sudah tidak ada alasan lagi keluhan bingung mau nulis apa. Ya, gimana enggak tertekan ketika berhadapan dengan layar putih dan kursor yang berkedip tanpa berbekal bahan apapun. Analoginya sama dengan memasak. Bagaimana caranya membuat sebuah masakan kalau enggak ada satu pun bahan di dalam kulkas? Memang ada manusia super di luar sana yang mampu menulis dari nol, tanpa bekal catatan apapun. Namun tidak perlu berkecil hati dan stuck terus menerus jika kita bukan salah satunya.

Kelebihan lain dari Zettelkasten adalah metode ini tidak membiarkan kita kehabisan ide. Selalu ada stok ide lain dalam Zettelkasten yang bisa digarap. Bahkan ketika sedang stuck dalam menggarap sebuah manuskip. Dalam sebuah wawancara, Luhmann pernah menjelaskan salah satu caranya supaya tetap produktif adalah dengan tidak memaksakan diri ketika stuck.

When I am stuck for one moment, I leave it and do something else. Well, writing other books. I always work on different manuscripts at the same time. With this method, to work on different things simultaneously, I never encounter any mental blockages.”

Ulasan mendalam tentang proses kreatif Niklas Luhmann dan teknik belajar efektif dalam How to Take Smart Notes begitu menampar saya yang sangat tidak efisien ketika belajar di sekolah, atau saat membaca buku non-fiksi. Rasanya ingin sekali kembali ke masa lalu supaya bisa mengulang kuliah dengan cara belajar yang lebih benar. Tidak henti-hentinya saya takjub dengan proses kreatif Luhmann. Seolah saya tidak bisa keluar dari Zettelkasten yang ia ciptakan.

Saya sangat merekomendasikan mahasiswa baru untuk membaca buku ini sebelum memulai perkuliahan. Begitu juga dengan profesional yang masih merasa perlu belajar banyak hal baru.

Leave a comment