Bertambah lagi satu alasan kenapa bulan Maret menjadi bulan favorit gue. Setelah melewati penantian panjang akhirnya Kings of Convenience dan Arctic Monkeys menggelar konser di Jakarta dan gue beruntung bisa memenangkan perang tiket untuk bisa menyaksikan keduanya.

Konser Kings of Convenience dan Arctic Monkeys hanya terpaut sembilan hari di bulan Maret. Penampilan Kings of Convenience yang lebih dulu terselenggara disaksikan oleh lima ribu penonton dalam ballroom The Ritz-Carlton. Mereka bilang, ini adalah konser terbesar mereka yang pernah ada. Ya, lima ribu adalah angka yang besar untuk ukuran folk duo dari pinggiran kota Bergen, Norwegia. Selama hampir dua jam konser berjalan meriah dan intim karena interaksi penonton dan Erlend Oye yang punya banyak memori tersendiri dengan Jakarta. Penonton pun ikut bernyanyi sepenuh hati di setiap tembang sampai-sampai mengalahkan suara Erlend dan Eirik. 

Keriuhan malam itu masih terngiang di kepala gue hingga besok paginya. Dan keesokannya lagi sampai beberapa hari kemudian hingga harus berhenti karena konser Arctic Monkeys akan tiba. Dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta gue menyegarkan ingatan akan lagu-lagu Arctic Monkeys. Rasanya lucu mengingat ada masa di mana gue lumayan sering bolak balik melintasi Tol Cipularang dan sembari mendengarkan Arctic Monkeys, gue menggalau berharap bisa hengkang dari Jakarta dan tinggal di Bandung for good.

Keesokannya hari konser Arctic Monkeys tiba. Gue tidak berharap banyak setelah melihat set list Asia Tour mereka yang hanya sedikit memainkan lagu favorit gue. Ya, namanya juga tur dalam rangka promosi album baru. Niatan untuk fangirling ke Alex Turner pun tidak begitu kuat sebab rasa pasrah yang muncul karena baru bisa menyaksikan Alex Turner setelah era album AM.

Konser Arctic Monkeys disaksikan sedikitnya lima belas ribu penonton dan berjalan selama hampir dua jam. Daftar lagu yang dimainkan sama dengan set list yang beredar. Gue berada pada jarak yang cukup jauh namun cukup jelas untuk melihat keseluruhan panggung dan personil secara utuh. Konser berlangsung rapi, tertib, dan sat set. Hingga rasanya ada yang kosong setelah meninggalkan Beach City International Stadium.

Kureng (kurang) dan kentang (kena tanggung) adalah dua kata dari gue dan Nisul tentang konser Arctic Monkeys malam itu. Gue pun berpikir mungkin gue akan cepat berpaling dan tidak butuh waktu lama untuk kembali mendengarkan Kings of Convenience. Namun nyatanya hingga hari ini gue masih belum move on sebagaimana halnya pasca konser Kings of Convenience. Gue masih memutar Arctic Monkeys di Spotify dan iPod dan gue menonton kembali pertunjukan live Arctic Monkeys di Youtube. Khususnya pertunjukan yang tidak memainkan lagu favorit gue malam itu : Only Ones Who Know, A Certain Romance, The Hellcat Spangled Shalalala. 

Lalu, apakah penampilan Arctic Monkeys mengecewakan? Sebetulnya tidak. Semua lagu dimainkan dengan sempurna tanpa ada kesalahan. Permainan sorot lampu cocok dengan dentuman musik rock yang dibawakan. Alex Turner tetap bagus bernyanyi di atas panggung secara live seperti yang biasa gue tonton di Youtube. Tak dinyana pula Alex Turner masih terlihat menawan, mirip dengan era album Humbug; rambut gondrong tanpa pomade, cukuran bersih tanpa kumis dan brewok. Sampai-sampai gue sakit kepala melihat aksi keramasnya di atas panggung. 

Mungkin gue merasa ada yang kurang karena mereka tidak memainkan ketiga lagu favorit yang gue sebutkan di atas. Mungkin pula jarak gue terlalu jauh sehingga gue tidak kecipratan langsung sorot lampu panggung dan tidak ikut larut dalam animo penonton yang telah mengantri sejak siang.   

Sebelum konser Arctic Monkeys tidak ada lagu dari album The Car yang nyangkut di kepala. Namun setelah konser gue malah mendengarkan Sculptures of Anything Goes karena memori akan momen keempat personil Arctic Monkeys memasuki panggung kembali berputar. Momen yang membuat para penggemar teriak histeris, terdiam, dan mungkin menangis jika penonton setidaknya berada pada jarak yang sama seperti antara gue dengan Erlend dan Eirik di The Ritz-Carlton. 

Dulu gue hanya menyaksikan di layar kaca bagaimana seorang penggemar bisa menangis ketika melihat idolanya berada di atas panggung. Hal yang tidak bisa gue mengerti sampai gue ada di konser Kings of Convenience. Kemunculan mereka di atas panggung dengan sumringah seketika diikuti isak haru penonton dari bawah panggung. Bunyi srot srot terdengar jelas dari sekeliling gue. Beberapa perempuan terlihat mengusap air mata dan menahan jatuhnya ingus dari lubang hidung. Meski tidak ikut meneteskan air mata, rasa haru itu juga gue rasakan dalam diam. Apakah ini karena mereka, termasuk gue, memuja sang idola secara berlebihan? Setidaknya dari apa yang gue alami di konser kemarin, bukan itu jawabannya. 

Kings of Convenience dan Arctic Monkeys adalah band yang sudah berkarya selama dua dekade. Belasan tahun setidaknya mereka mengiringi momen jatuh bangun para pendengar setianya. Belasan tahun pula para pendengar setia ini menunggu kedatangan mereka di Jakarta. Maka ketika hari itu tiba dan sang idola terlihat sungguh nyata ada di depan mata, rasanya seperti mimpi. Butuh jeda waktu untuk meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang dilihat di depan mata dalam jarak sekian meter adalah mereka yang selama belasan tahun terakhir hanya hadir suaranya dalam earphone. 

Setelah kesadaran pertama terkumpul, muncul kesadaran berikutnya tentang bagaimana mereka semua terlihat menua. Reaksi pertama kaget, lalu mengelak, namun kemudian akhirnya menerima karena sadar bahwa karya mereka sudah gue nikmati sejak gue masih berseragam sekolah. Maka wajar jika mereka sudah terlihat menua mengingat gue pun sudah berkepala tiga. Ya, itulah realita yang harus ditelan para penikmat musik. Kita tumbuh dewasa sembari menyaksikan bagaimana para musisi idola menua dan berhenti berkarya pada waktunya. 

Bisa disimpulkan bahwa tangis haru itu muncul bukan karena pemujaan yang berlebihan terhadap manusia. Melainkan nostalgia akan memori personal yang ada antara pendengar dan musisi. Dua faktor tersebut tidak hanya membuat gue larut dalam haru di awal konser, tapi juga mellow pasca konser. 

Gue yakin bahwa dalam jangka waktu panjang Erlend Oye dan Eirik Glambek masih produktif berkarya dan prima ketika manggung meski mungkin tidak melulu bersama dalam Kings of Convenience. Di sisi lain gue mengkhawatirkan Alex Turner. Bukan khawatir akan produktivitasnya dalam menghasilkan lagu dengan lirik yang jenius. Hanya saja gue khawatir akan performa live selanjutnya. Sebab di usia yang belum menginjak 40, nafas Alex Turner sudah terdengar sesak. 

Dear Bang Alek, yuk bisa yuk kurang-kurangin rokoknya.

Leave a comment