Siapa yang mau baca buku jelek? Gue rasa enggak ada. Sama halnya dengan menonton film, kebanyakan pembaca buku juga enggak mau membuang-buang waktu dengan membaca buku yang tidak bagus.

Lalu, bagaimana untuk tahu kalau buku itu bagus atau tidak?

Cara yang paling cepat dan sahih adalah dengan merujuk ke situs web yang ditujukan untuk membuat ulasan. Terdapat lebih dari satu situs web yang memberikan kita gambaran seberapa baik atau buruknya sebuah film. Namun hanya ada satu situs web yang menyediakan informasi baik buruknya sebuah buku: Goodreads.

Gue berkenalan dengan Goodreads sebelas tahun yang lalu. Sejak saat itu juga gue memindahkan kiblat rekomendasi bacaan dari rak buku toko buku terpopuler se-Indonesia raya ke ulasan Goodreads. Selama itu gue merasa baik-baik saja dengan rekomendasi buku dari Goodreads hingga akhirnya menyadari suatu keanehan setelah membaca dua buku dari rekomendasi Goodreads pula.

Dua buku tersebut adalah buku lokal yang diterbitkan oleh penerbit terbesar di Indonesia raya. Keduanya mendapatkan empat bintang dan komentar bombastis dari para pembaca. Kebanyakan dari mereka menyerukan betapa buku yang bersangkutan begitu menggugah dan mengubah hidup mereka. Oke, buku pertama yang berbicara tentang stoisisme memang tidak jelek. Namun rasanya berlebihan jika mendapat predikat sempurna, sebab ada beberapa hal yang cukup janggal dan mengganggu bagi gue. Untuk buku kedua yang berbicara tentang saham, hmm…memberikan tiga bintang pun rasanya gue enggan.

Dua buku tersebut gue baca dalam jangka waktu yang cukup berdekatan. Cukup membingungkan hingga gue jadi kepikiran, kira-kira apa yang membuat seorang pembaca bisa memberikan ulasan bombastis di Goodreads?

Topik kedua buku yang gue sebutkan di atas selama ini tidak lazim dibahas secara popular dalam buku lokal. Bisa jadi, baru sekarang kedua topik tersebut dapat menjangkau pembaca yang lebih luas sehingga mereka yang belum pernah mendengar ide tentang stoisisme dan saham menganggapnya sebagai suatu hal yang wah. 

Bagi mereka yang sebelumnya sudah berkenalan dengan ide tersebut dan menilai buku yang bersangkutan biasa saja (atau bahkan jelek) bisa jadi sudah terlalu malas untuk memberikan ulasan jujur di Goodreads sehingga yang muncul hanyalah ulasan empat bintang ke atas saja.

Kemungkinan terakhir yang mengerikan adalah, mungkin kita sebetulnya kurang banyak membaca buku sehingga langsung-setuju-saja dengan buku apapun yang kita baca, apapun yang ulasannya bagus di Goodreads, apapun yang sedang populer, atau apapun yang nangkring di rak ‘bestseller’ toko buku terpopuler se-Indonesia raya.

Memang acap kali kita jumawa dengan buku bacaan kita yang katanya bagus. Namun bagaimana kita bisa tahu bahwa sebuah buku itu bagus jika selama ini kita hanya membaca buku yang katanya bagus saja? Bagaimana bisa kita bilang bahwa buku itu bagus jika kita tidak pernah tahu seperti apa buku yang jelek?

2 thoughts on “Buku Empat Bintang

Leave a comment